Search

Wednesday, April 17, 2013

Celengan Putih Merah



[Celengan Putih Merah 2013]


Penulis: Talhah Lukman Ahmad
Penyunting: Fatimah Azzahrah
Penerbit: Media Pressindo
Ukuran: 11,5 x 18,5 cm
Tebal: 152 halaman
ISBN: 978-979-911-218-7
Harga: Rp 22.500,- *)

Kadang gue berpikir kenapa sih celengan itu selalu identik dengan uang? Apakah sesuatu yang berharga itu harus selalu uang? Sampai-sampai di bank pun, pihak bank rela bikin safety box yang terbuat dari besi dan baja plus dikasih kunci kombinasi yang ribet banget.
Kembali timbul pertanyaan dalam diri gue: apakah yang harus dijaga atau disimpan ekstra ketat harus selalu berupa uang atau sesuatu yang berbentukreal (baca: nyata)?
Okelah, memang uang atau barang berharga lainnya perlu disimpan secara hati-hati supaya nggak dicolong maling tak bertanggung jawab. Tapi menurut gue masih ada hal lain yang bukan benda nyata, yang harus disimpan ekstra hati-hati.
Apakah itu? Jawabannya adalah KENANGAN.
Kecuali kalau kenangan buruk lo lebih banyak daripada kenangan indahya. Itu mah #nasib. Kalau gue sih jelas punya kenangan indah, terutama pas pakai seragam putih merah. Mulai dari demen boker di celana, mainan cingbenteng, sampai… ehm, cinta monyet pertama!
So, kesimpulannya adalah… yang kalian pegang ini bukan buku, melainkan celengan. Silakan dibaca danmulailah menabung gopek per gopek (demi kelangsungan hidup gue)! —-__—-

Monday, April 15, 2013

Senyum [Kampret] Sore Hari

"Jangan pernah merasa mulia dengan merendahkan orang lain. Kemulian akan dimiliki oleh mereka yang rendah hati." 
(Abdullah Gymnastiar - Pendakwah)

Sore tadi seperti biasa - walau tidak setiap hari- gue nganterin pacar balik. Memang bukan dengan mobil mewah ataupun motor sport cuma bus umum biasa jurusan Bogor - Depok. Turun dari bus gue ngajak pacar beli minuman ringan di sebuah minimarket. Keluar dari minimarket gue mengajak dia untuk duduk duduk sebentar di teras minimarket tersebut yang memang sengaja ditempatkan beberapa kursi agar pembeli bisa leluasa mengobrol sambil minum atau makan. Dengan alasan nunggu shalat magrib (padahal mah masih pengen mesra-mesraan), kita berdua pun mengobrol banyak hal, menyambung apa yang memang sudah kita obrolkan di bus tadi. Cukup lama gue dan doi ngobrol hingga tiba-tiba datang seorang ibu berkerudung kuning lengkap dengan tas KW 9 nya berjalan ke arah mesin ATM yang letaknya memang tidak jauh dari tempat gue dan pacar  ngobrol.
"Hay, Tan! Mau kemana ?" ujar pacar  gue ke ibu tersebut.
"Oh, ini mau ke ngambil uang buat belanja," jawab si ibu tadi. Dia lalu melihat ke arah gue yang lagi  nenggak  sebotol wine minuman ringan, memandangi cukup lama, lalu bertanya pada pacar gue yang duduk nggak begitu jauh dari ibu tersebut,
"Ndi, itu siapa ? Pacarnya ?"
"Iya, Tan.." jawab pacar gue sambil melempar galon senyum ramah.
Gue pun ikut senyum ke ibu itu, namun nggak ditanggepin! *nelen meja*
 'Oh mungkin karena emang nggak kenal,' ujar saya dalam hati, mencoba berpikir positif.
"Kuliah ? Dimana ?" tanyanya lanjut.
"Iya, kuliah,Tan. Di ***** (Nama kampus disamarkan),"
"Ohh" respon ibu tersebut dengan singkat. Lalu ia pun masuk ke dalam bilik ATM. Nggak lama dia keluar lalu berjalan ke arah pintu masuk minimarket. Ketika ia berjalan tepat disamping gue, gue pun tersenyum ke arahnya. Yah, senyum-senyum basa-basi gitu. Karena saya rasa ibu ini entah kenapa seperti ilfeel ke saya, dan ternyata tebakan saya pun tepat!
Dia tidak membalas senyum gue, yang ada dia malah memasang tampang jijik, aneh, dan apalah yang tidak mengenakan. Dalam hatinya, dia pasti bilang 'Iyyyuhhh, Kamseupay banget nih anak!"
Sebuah perkenalan yang cukup bikin sakit hati..


******

Udah biasa.
Yah, cuma kalimat itu yang bisa gue katakan pasca tragedi tatapan 'Iyuhh Kamseupay' barusan. Dicaci, dihina, difitnah, bahkan di-bully secara verbal atau non-verbal pun pernah dan masih sering saya terima. Termasuk yang tadi sore itu.
Jujur, kalau dibilang sakit hati sih, sakit banget. Udah mah di-'hak cuh' ibu-ibu nggak jelas, di depan pacar pula. Untung pacar gue bisa ngerti. Dalam artian, dia ngerti sifat gue yang males nyari ribut dan sifat si ibu tadi yang emang hobby nyari ribut.
"Udah, jangan ditanggepin, Yang. Ibu itu mah emang suka mandang rendah gitu  ke orang lain. Di komplek juga gitu," ujar pacar gue mencoba menenangkan suasana. 
"Ya, tapi nggak gitu juga kali tatapannya. Gue tau dia siapa juga nggak, udah main sinis aja," ujar gue agak gak terima.
Beres shalat magrib, gue kembali naik bus, pulang ke Bogor. Di dalam bus dan ditengah rintik hujan gue coba merenung kejadian tadi sore. Nggak mau munafik, gue emang kesel dan marah sama kelakuan si ibu tadi yang udah kayak bocah TK. Dari zaman Firaun narik becak sampai jaman SBY twitteran, yang namanya ngerendahin orang apalagi orang yang sama sekali nggak dikenal adalah perbuatan tidak sopan dan kampungan. Oh ya satu lagi... NORAK!
Sempet sih terpintas gue untuk dendam ke si ibu yang bahkan gue nggak tau namanya siapa, alamatnya dimana, mantannya waktu SMA ada berapa itu. Tapi, setelah gue pikir-pikir (sumpah, gue masih punya otak! walau jarang dipake sih -_-) nyimpen dendam itu nggak ada gunanya juga. Kalau dulu-dulu aja waktu gue dihina, diejek dan di-bully gue biasa aja, kenapa buat yang sekarang gue harus dendam ? Karena gue dihina di depan pacar bukan alasan yang tepat gue harus dendam sama si ibu yang ternyata tetangga pacar gue itu. 
Gue emang nggak ganteng kayak Robert Pattinson, gue juga nggak kaya seperti Bill Gates, dan gue juga emang gak punya banyak follower kayak Raditya Dika (entah apa hubungannya ?) tapi setidaknya, gue pernah ngerasain gimana susahnya ngerangkak dari bawah, memperjuangkan hidup yang lebih baik dengan tangan gue sendiri. Sesuatu yang mungkin nggak pernah dialami ibu brengs*k itu. 
Dari dihina, dicaci, direndahkan, dan di-bully gue bisa melahirkan buku-buku gue walau belum dalam tahap best seller sih. Mungkin kalau gue nggak pernah dihina, dicaci, direndahkan, diejek,dan di-bully nggak akan pernah ada cerita untuk tulisan gue, dan ujungnya nggak akan pernah ada buku dengan nama gue di sampul depannya. 
Gue selalu percaya bahwa sabar itu tidak ada batasnya karena sesungguhnya kita lah yang membuat batas tersebut. Gue mencoba menyingkirkan batas itu agar gue dapat dengan lapang menerima cacian, hinaan, bully-an dan segala bentuk yang merendahkan diri gue. Karena ketika kita direndahkan, dia satu sisi kita tengah ditinggikan oleh Yang Maha Kuasa.
Terima kasih banyak untuk semua orang yang pernah merendahkan, semoga kalian akan selalu ditinggikan...



Saturday, April 13, 2013

Presiden, Akun Twitter, dan Intoleransi di Negeri ini

Bisa dibilang semalem adalah malam minggu paling luar biasa bagi sebagian masyarakat Indonesia. Ya, sebagian masyarakat terutama yang gemar nyemplung di situs buatan Jack Dorsey : Twitter.
Yups, di malam minggu tanggal 13 April 2013 itu Bapak Presiden yang kita cintai. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono atau yang lebih dikenal dengan nama SBY meluncurkan akun Twitter-nya (@SBYudhoyono). 
Sebagai seorang presiden yang hadir di tengah kemajuan teknologi komunikasi, rasanya tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh bapak presiden, terlebih dalam satu tweetnya beliau berkata bahwa kehadirannya di 'dunia' twitter untuk mempererat kedekatan antara beliau sebagai seorang presiden dengan rakyatnya.

Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY* (@SBYudhoyono)

 Sebuah langkah yang patut diberi standing applause dan juga apresiasi yang tinggi. Sambutan dari para tweeps dengan kehadiran akun twitter pak Presiden pun beragam, dan kebanyakan cukup positif. Ini juga terbukti dengan antusiasme masayarakat Indonesia untuk mem-follow akun tersebut. Terbukti sampai saat post ini ditulis (Minggu, 14 April 2013 pukul 07.36 WIB) sudah 402,474 followers yang mengikuti akun Presiden Republik Indonesia yang ke-6 ini. Sebuah respon yang luar biasa bagi seseorang yang baru terjun di dunia sosial media, khususnya Twitter walau tidak menampik ini karena faktor keteneran beliau sebagai seorang pemimpin negara.
Namun di sisi lain, fenomena akun twitter Bapak presiden ini dikhawatirkan akan membiaskan isu penting yang tengah terjadi di negeri ini. Masyarakat seolah digiring untuk larut dalam euforia  hadirnya akun twitter Presiden mereka, hingga akhirnya lupa pada apa yang terjadi di tengah masyarakat seminggu terakhir ini. Berita tentang harga BBM, Sulitnya siswa mengikuti UN karena keterbatasan sarana, dan yang paling disorot adlah berita tentang intoleransi yang selalu menjadi sorotan di mata nasional dan internasional, apalagi kalau bukan tentang Jemaat Ahmadiyah.
Seperti yang diberitakan bahwa pada hari Jum'at (5/4/2013) telah terjadi penyegelan Masjid Al-Misbah di Jatibening, Bekasi.  (Sila klik link berikut ini: Bekasi Mayor Shuts Down Ahmadiyah Mosque
Mesjid yang pada hakikatnya adalah tempat beribadah bagi setiap kaum muslim disegel dengan paksa, ditutup dengan seng, tanpa dasar hukum yang jelas, pada malam hari pula dan hanya ditonton oleh para polisi. Pembiaran ? Jelas!
Dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah:114  sendiri Allah SWT berfirman:

Dan siapakah yang lebih zalim ketimbang orang yang menghalangi (manusia) dari mesjid-mesjid Allah untuk disebut nama-Nya di situ, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya, kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Bagi mereka, di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang besar(Al-Baqarah:114).

And who is more unjust than he who prevents (men) from the masjids of Allah, that His name should be remembered in them, and strives to ruin them? (As for) these, it was not proper for them that they should have entered them except in fear; they shall meet with disgrace in this world, and they shall have great chastisement in the hereafter(Al-Baqarah:114).

Pada dasarnya meyakini sebuah keyakinan merupakan hak asasi setiap manusia yang dimana tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun, termasuk dari pemerintah sendiri. Setiap hati meyakini apa yang diyakini secara tulus yang sesuai dengan logika berpikir. 
Berdasar pada tujuan Bapak Presiden yang ingin menjadikan akun Twitter-nya sebagai jembatan penghubung aspirasi antara rakyat dan Presiden-nya melalui sosial media. Maka, lewat blog ini yang juga merupakan bagian dari sosial media saya sebagai warga negara ingin menyalurkan unek-unek saya tentang salah satu bentuk intoleransi di negeri tercinta ini yang semakin hari semakin menghawatirkan dan semakin mencoreng citra Indonesia di mata dunia. 
Saya yakin anda masih memiliki hati nurani dan mampu melihat bagaimana dan apa yang terjadi dengan kaum minoritas di negeri yang Bapak pimpin ini.