Search

Sunday, December 8, 2013

Memang Harus Perempuan, Pak?

"Tal, nanti kamu pas wisuda ngasih kata sambutan yah ngewakilin mahasiswa angkatan 2011," pinta salah satu dosen gue satu minggu yang lalu.
Tanpa banyak ba-bi-bu, gue langsung mengiayakan tawaran tersebut. Terbayang di pikiran gue ngomong di depan banyak orang, diliput salah satu media yang juga tempat kerja gue (apalagi ada katanya bakal ada si bos), diliatin sama-sama para orang tua temen gue, dan yang paling terpenting bisa bikin orang tua gue yang hadir bangga sama anaknya ini. Bahkan pas balik dari kampus gue langsung ngasih tahu berita baik ini ke orang tua, dan mereka seneng banget.

Tapi sayang satu minggu kemudian niat gue untuk membanggakan orang tua tersebut hancur dengan satu alasan gak masuk akal dan nyesekin, dan alasan itu bernama gender.
"Pak, tadi ada pengumuman apa ya? Maaf tadi pagi saya kerja," Tanya gue saat ketemu Pak Is. Emang malam sebelumnya gue dapet sms dari temen kalau hari sabtu itu semua mahasiswa angkatan 2011.
"Nggak tadi cuma ngulang pengumuman yang minggu lalu soal bayaran wisuda dan softcopy TA. Kamu udah semua?" tanya Pak Ismail, balik.
"Udah pak. Saya udah bayar wisudaan sama udah nyerahin softcopy TA kok."
"Oh bagus kalau gitu,"
"Ada yang lainnya pak?" tanya gue sebelum keluar dari ruangan Pak Ismail,"
"Oh iya satu lagi. Buat nanti wisudah kamu diganti sama Anis yah,"
Jeggger! Gue campur aduk dengernya. Antara kaget, kecewa sama bingung. Harapan gue buat orang tua bangga pas wisuda pun sirna seketika.

Tahu kalau gue butuh penjelasan atas semua ini, Pak Ismail buru-buru angkat bicara, "Jadi yang di Bandung (Kebetulan kampus gue emang di akusisi sama salah satu perguran tinggi yang pusatnya di Bandung) direkturnya pengen kalau yang sambutan perwakilan dari mahasiswa itu perempuan, buka laki-laki."

WHAT? Hanya karena masalah gender? Gila kebentur apa nih otak si direktur?

Sejak kapan ada peraturan perwakilan sambutan dari mahasiswa itu harus perempuan? Kenapa itu direktur nggak ngerubah aja kampus gue jadi kampus kebidanan sekalian biar isinya perempuan-perempuan semua.

Sampai saat ini gue masih schok banget. Untung orang tua gue bisa paham.
Yah inilah realita kehidupan. Nggak selamanya yang punya pendidikan tinggi dan punya jabatan bisa berpikir dan menggunakan jabatannya dengan bijak.

Gue memang harus memupus impian gue untuk membanggakan orang tua di wisuda, tapi gue yakin ada cara lain untuk membanggakan orang tue dan almamater. Tapi tidak untuk membanggakan si direktur berotak anak TK itu!