Search

Friday, November 29, 2013

Ucapkan Selamat Tinggal Pada Kata Ramah

Hampir bulan ini gue bekerja sebagai seorang web-sosial media content di salah satu surat kabar lokal di Kota Bogor. Bekerja sebelum diwisuda itu rasanya sesuatu yang wah banget. Di satu sisi gue ngerasa semua pengorbanan harta dan waktu yang udah dicurahkan selama kuliah ada hasilnya, dan di sisi lain gue bisa bikin orang tua gue bangga. Apalagi buat bokap yang lagi sakit, ini mungkin bisa dibilang obat tersendiri.

Sebagai mana lazimnya sesorang yang baru masuk di 'dunia baru', pasti ada adaptasi yang harus mereka lewati. Baik itu adaptasi terhadap waktu, lingkungan, dan termasuk orang-orang yang ada di dalamnya. Sebagai orang baru apalagi yang masih muda banget gue berharap bisa diterima dengan baik di tengah lingkungan orang-orang media yang dikenal fokus dan kadang nggak peduli sama lingkungannya sendiri. Cara yang paling ampuh untuk diterima orang-orang baru di sekitar kita menurut gue adalah dengan bersikap ramah. Kenapa gue berpikir begitu? Karena siapa juga yang mau temenan sama orang yang mukanya ditekuk mulu kayak baju setrikaan dianggurin. Tapi tentunya ramah bukan berarti juga over akrab. Gue mencoba ramah tapi dengan menghindari kesan sok kenal sok dekat alias SKSD.
Setiap ketemu orang, khususnya orang redaksi (tempat gue bekerja), gue mencoba untuk senyum ke orang-orang yang gue temui, bahkan ketika gue keluar kamar mandi dan ketemu orang gue pasti senyum sambil sesekali menyapa (walau kadang nggak kedengeran, saking gugupnya).

Tapi seperti judul postingan ini, gue hanya bisa bilang selamat tinggal untuk kata ramah. Yah, maksud gue untuk ramah dengan tersenyum ternyata di salah artikan oleh beberapa orang, dan parahnya itu bikin sakit hati banget.

Jadi kejadiannnya seperti ini. Tadi malam (FYI: Gue selama awal-awal emang dikasih shift malem terus), gue keluar kamar mandi dan papasan sama Mas Pur (bukan nama sebenarnya) yang ngambil sesuatu di loker. Seperti biasa, gue senyum sayangnya Mas Pur cuek-cuek aja. Dia tetep fokus ngubek-ngubek lokernya, gak tau nyari apaan. Padahal kita jelas-jelas kontak mata. Gue sih bodo amat lah. Lagian udah bukan sekali dua kali gue senyum tapi nggak ditanggepin. Biarin aja yang penting gue udah nyoba untuk membuka diri dan tidak terkesan sombong walau mungki senyum-senyum mulu bisa bikin orang nyangka gue orang gila. But it's ok. Nah, ini dia bagian yang bikin gue sakit hati. Pas gue jalan itu ada seseorang yang bilang gini "ciee..ciee". Gue lihat kan ada apaan, ternyata cengan itu memang ditujukan ke gue yang ternyata tanpa disengaja jalannya bareng sama Mas Pur. Gue sih menganggap itu biasa aja. Gue bahkan dicengin punya hubungan khusus sama salah satu cowok di redaksi (catet yah gue bukan HOMO). Buat gue sih kayak gitu cuma selentingan biasa. Bahkan gue menganggap dengan cengan itu, artinya gue sudah dianggap ada di orang redaksi yang jumlahnya lebih dari sepuluh orang itu. Seiring dengan cengan itu, gue berjalan ke ruangan gue dan duduk di meja kerja gue. Tanpa sengaja dan kayak digerakin sendiri, gue melirik ke arah orang yang cengin gue. Nah di situ ada dua orang, satu orang berambut klimis yang tadi cie cie-in gue dan satu lagi cowok berambut acak-acakan dengan postur tubuh tinggi. Nah cowok yang sumpah gue nggak tahu siapa namanya ini ngobrol sesuatu sama cowok yang satunya lagi dan sepersekian detik kemudian mata gue menangkap dia sambil ngobrol itu dia melemparkan senyuman mengejek ke arah gue. Gue yakin obrolan itu pun tentang gue. Bukannya ke ge eran, tapi apalagi kalau nggak ngomongin orang yang baru aja mereka cengin? ditambah dengan senyuman najis kayak tadi.

Malam itu gue jujur aja gue kerja nggak fokus. Hati gue panas tapi gue nggak bisa apa-apa. Oke, gue emang orang baru yang gak tahu apa-apa, nggak tahu nama orang-orang se kantor, bahkan nggak tau tradisi di kantor seperti apa. Kalau ngomongin dan cengin orang jadi tradisi kantor 'menyambut'orang baru, gue cuma bisa bilang KAMPUNGAN!
Selama ini gue mencoba ramah dengan tersenyum ke orang-orang di kantor termasuk dengan dua cowok yang ngecengin dan ngomongin gue tadi dengan tujuan bisa bersahabat dan bisa diterima tapi ternyata kenyataannya gue cuma jadi bahan olok-olok seperti ini buat apa? Gue memang baru, baru banget di dunia kalian, tapi maaf sebagai manusia, gue masih punya harga diri!

Sambil mengelus dada, dalam hati gue cuma bisa ngerasa miris. Di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang media yang menjadi sarana komunikasi dan penyebaran informasi tapi ternyata ada orang yang tidak tahu cara menerima komunikasi dari orang lain. Hari ini, gue mencoba mengibarkan bendera setengah tiang atas matinya keramahtamahan di negeri ini.

No comments:

Post a Comment